TIMES NGAWI, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dalam menetapkan tersangka pada kasus dugaan korupsi penyaluran dana tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) Bank Indonesia (BI).
Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan bahwa sejak berdirinya KPK pada 2002, lembaga ini tidak memiliki mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), sehingga setiap penetapan tersangka harus didukung oleh minimal dua alat bukti yang kuat.
“Proses penetapan tersangka itu memang memerlukan tidak hanya minimal dua alat bukti, dan di KPK, kami bisa empat alat bukti," ucapnya, Kamis (10/4/2025) seperti dikutip dari ANTARA.
Dalam proses penyidikan kasus ini, KPK telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi, termasuk Gedung Bank Indonesia di Thamrin, Jakarta Pusat, pada Senin (16/12/2024), dan Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Kamis (19/12/2024).
Selain itu, rumah anggota DPR RI, Heri Gunawan, di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, juga digeledah pada Rabu (5/2/2025) malam hingga Kamis (6/2/2025) dini hari, di mana penyidik menyita dokumen dan barang bukti elektronik terkait perkara tersebut.
KPK juga telah memanggil beberapa saksi untuk dimintai keterangan, termasuk anggota DPR RI Satori dan tenaga ahli anggota DPR Heri Gunawan, Helen Manik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendalami aliran dana dan kemungkinan penyalahgunaan dalam penyaluran dana CSR BI.
“Jadi, saya pikir akan ada waktu, dan siapa pun yang memang berdasarkan alat bukti akan ditetapkan sebagai tersangka di KPK. Jadi, tidak terlalu cepat, tidak terlalu lambat,” katanya. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: KPK: Penyelidikan Dugaan Korupsi CSR Bank Indonesia Sesuai Prosedur
Pewarta | : Antara |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |