TIMES NGAWI, JAKARTA – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) akhirnya angkat bicara soal polemik internal yang belakangan mencuat, termasuk absennya Rais ‘Aam PBNU KH Miftachul Akhyar dalam Musyawarah Kubro di Pesantren Lirboyo.
PBNU menegaskan, seluruh keputusan terkait pemberhentian Ketua Umum PBNU telah ditempuh melalui jalur organisasi yang sah dan konstitusional, sesuai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) NU.
Penjelasan itu dituangkan dalam dokumen resmi berjudul Tabayun Rais ‘Aam PBNU: Menempatkan Pemberhentian Ketua Umum dalam Koridor Konstitusi Jam’iyah.
Dokumen tersebut diterbitkan Sekretariat Jenderal PBNU dan ditandatangani di Surabaya pada 1 Rajab 1447 H atau bertepatan dengan 22 Desember 2025.
Dalam dokumen itu, Rais ‘Aam menjelaskan bahwa proses pemberhentian Ketua Umum PBNU tidak muncul secara tiba-tiba. Ada rangkaian pembinaan dan pengawasan yang dilakukan Syuriyah PBNU, sebagaimana mandat Pasal 18 Anggaran Dasar NU.
Proses tersebut berjalan cukup panjang, sejak Juni hingga November 2025, melalui sejumlah rapat resmi dan komunikasi kelembagaan.
Dari Rapat Harian hingga Instruksi Resmi
Syuriyah PBNU mencatat, Rapat Harian Syuriyah telah digelar pada 10 Dzulhijjah 1446 H atau 6 Juni 2025 di Pondok Pesantren Miftachussunnah, Surabaya.
Rapat itu kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bersama Tanfidziyah PBNU pada 21 Dzulhijjah 1446 H atau 17 Juni 2025 di Gedung PBNU, Jakarta.
Dalam forum tersebut, muncul saran dan pandangan yang kemudian menjadi keputusan bersama. Namun menurut Syuriyah, keputusan itu tidak dijalankan, terutama terkait pelaksanaan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU) yang tetap dipaksakan berjalan sesuai jadwal kerja sama dengan Center for Shared Civilizational Values (CSCV).
Situasi itu mendorong Rais ‘Aam PBNU menerbitkan Surat Instruksi Nomor 4368/PB.23/A.II.08.07/99/08/2025 tertanggal 25 Agustus 2025, yang berisi penghentian atau penangguhan pelaksanaan AKN NU serta nota kesepahaman PBNU dengan CSCV.
Tak berhenti di situ, PBNU juga mengirim surat terkait permintaan laporan keuangan melalui Surat Pengurus Besar Syuriyah Nomor 4430/PB.02/A.I.01.07/99/09/2025 tertanggal 8 September 2025.
Dua Kali Tabayun, Berujung Permintaan Mundur
Dokumen tersebut juga mengungkap bahwa upaya tabayun kepada Ketua Umum PBNU dilakukan sebanyak dua kali. Pertama pada 13 November 2025 di Surabaya, dan kedua pada 17 November 2025 di Ruang Rais ‘Aam PBNU.
Dalam pertemuan kedua itulah, disebutkan bahwa Ketua Umum PBNU menyampaikan keinginannya untuk mengundurkan diri lebih awal, bahkan sebelum batas waktu yang disediakan Rais ‘Aam.
Proses ini kemudian dibawa ke Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025. Keputusan itu selanjutnya diperkuat dalam Rapat Pleno PBNU yang digelar pada 9 Desember 2025. Dari 214 undangan, sebanyak 118 peserta hadir dan secara bulat menyepakati pemberhentian Ketua Umum PBNU.
Rapat Pleno tersebut juga menetapkan Dr (H.C.) KH Zulfa Mustofa sebagai Pejabat Ketua Umum PBNU hingga Muktamar ke-35 Nahdlatul Ulama yang dijadwalkan berlangsung pada 2026.
Soal Lirboyo dan Musyawarah Kubro
PBNU juga menanggapi pertanyaan publik terkait ketidakhadiran Rais ‘Aam dalam Musyawarah Kubro di Pesantren Lirboyo. Dalam dokumen itu ditegaskan, Rais ‘Aam secara pribadi menghormati forum tersebut, termasuk inisiatif KH Anwar Manshur selaku Mustasyar PBNU.
Namun, PBNU menilai ada pertimbangan legalitas dan konstitusionalitas forum yang perlu dicermati secara hati-hati. Karena itu, kehadiran Rais ‘Aam diputuskan untuk ditunda agar tidak menimbulkan persoalan organisatoris di kemudian hari.
Pada Senin, 22 Desember 2025, PBNU menerima dua utusan dari Lirboyo, yakni KH Muhibbul Aman Aly dan KH Athoillah Sholahuddin Anwar.
Keduanya menyampaikan harapan agar komunikasi internal PBNU tidak mengalami kebuntuan.
PBNU menyambut baik permintaan tersebut dan berkomitmen menyampaikan penjelasan langsung kepada para Mustasyar PBNU dalam waktu dekat.
Keputusan Lembaga, Bukan Personal
Rais ‘Aam PBNU menegaskan, keputusan pemberhentian Ketua Umum PBNU bukanlah tindakan personal atau sepihak.
Seluruhnya merupakan hasil proses kelembagaan yang dijalankan melalui forum-forum resmi organisasi.
Ia mengingatkan, penyederhanaan narasi seolah-olah pemberhentian dilakukan oleh individu berpotensi menimbulkan kesalahpahaman serius, termasuk tuduhan melampaui kewenangan.
“Perbedaan pandangan adalah hal yang wajar dalam organisasi sebesar NU. Namun perbedaan itu harus diletakkan secara jernih dan adil, terutama dalam membedakan antara sikap personal dan keputusan institusional,” demikian penegasan dalam dokumen tersebut.
PBNU berharap penjelasan ini bisa menjadi pegangan bersama, sekaligus menjaga marwah Jam’iyah dan keutuhan Nahdlatul Ulama di tengah dinamika yang sedang dihadapi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tidak Hadir di Lirboyo saat Musyawarah Kubro, Ini Alasan KH Miftachul Akhyar
| Pewarta | : Yusuf Arifai |
| Editor | : Ronny Wicaksono |