TIMES NGAWI, SURABAYA – Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Jawa Timur (PMII Jatim) menyatakan sikap tegas menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang saat ini sedang dibahas secara tertutup oleh DPR bersama pemerintah.
Mereka menilai revisi ini berpotensi membuka jalan bagi kembalinya dwifungsi militer dan mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Ketua PKC PMII Jatim, Baijuri, menegaskan bahwa rancangan revisi UU TNI bertentangan dengan semangat reformasi yang seharusnya memastikan TNI sebagai institusi profesional.
Menurutnya, revisi ini justru berpotensi mengembalikan militer ke ranah sosial, politik, dan ekonomi, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru.
"Revisi UU TNI ini bertentangan dengan agenda reformasi yang menegaskan bahwa TNI harus profesional. Jangan sampai ada celah bagi kembalinya peran sosial-politik dan ekonomi TNI seperti masa lalu," ujar Baijuri, Minggu (16/3/2025) malam kepada TIMES Indonesia.
Tiga Poin Kritis dalam Revisi UU TNI
PMII Jatim telah melakukan kajian mendalam terhadap rancangan revisi UU TNI dan menemukan tiga poin yang dianggap mengkhawatirkan.
1. Perpanjangan Masa Pensiun Perwira
Dalam revisi ini, masa pensiun perwira TNI diperpanjang hingga usia 62 tahun. Menurut PMII Jatim, hal ini dapat memperparah penumpukan perwira non-job dan membuka peluang lebih besar bagi perwira aktif untuk menempati posisi strategis di lembaga sipil, yang seharusnya berada di bawah kendali supremasi sipil.
Baijuri menyoroti temuan Ombudsman pada 2020 yang mencatat bahwa 564 komisaris BUMN diduga merangkap jabatan, termasuk 27 perwira TNI aktif.
"Contoh terbaru, Mayjen Novi Helmy Prasetya diangkat sebagai Direktur Utama Bulog. Ini jelas melanggar UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI," tegasnya.
2. Perluasan Jabatan Sipil untuk Perwira Aktif
Dalam Pasal 47 rancangan revisi, disebutkan bahwa perwira aktif dapat menduduki posisi di 15 instansi sipil, termasuk Kementerian Pertahanan, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Baijuri menilai kebijakan ini mengancam supremasi sipil dan independensi lembaga negara.
"TNI harus fokus pada pertahanan negara. Jangan sampai mereka kembali menguasai jabatan strategis di pemerintahan yang seharusnya berada di bawah otoritas sipil," kritiknya.
3. Intervensi Militer dalam Politik Keamanan
Rancangan revisi juga membuka peluang bagi perwira aktif untuk menduduki posisi strategis di Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).
"Ini bisa menjadi pintu masuk bagi kembalinya dwifungsi ABRI, di mana TNI memiliki kewenangan besar dalam urusan politik dan keamanan negara, mirip dengan yang terjadi di era Orde Baru," jelas Baijuri.
Ia mengingatkan bahwa TAP MPR No. VII/2000 telah menegaskan netralitas TNI dalam politik dan menolak keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil.
Ancaman terhadap Supremasi Hukum
PMII Jatim juga mengkritisi ketentuan dalam revisi UU TNI yang memungkinkan anggota TNI yang terlibat dalam pelanggaran HAM atau korupsi untuk diadili di peradilan militer, bukan di pengadilan umum.
"Kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang melibatkan anggota TNI harus ditangani di pengadilan umum yang terbuka dan transparan, bukan di peradilan militer yang cenderung tertutup dan sulit diawasi," tegasnya.
Ia juga memperingatkan bahwa jika revisi ini disahkan, maka akan ada peningkatan potensi pelanggaran HAM tanpa adanya mekanisme kontrol yang kuat dari publik.
"Kita tidak ingin kembali ke era di mana militer tidak tersentuh hukum sipil. Ini ancaman bagi negara hukum dan prinsip demokrasi yang kita perjuangkan selama ini," imbuhnya.
Desakan Membuka Pembahasan ke Publik
PMII Jatim mendesak DPR dan pemerintah untuk tidak membahas revisi UU TNI secara tertutup dan membuka ruang bagi partisipasi publik.
"Keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam pembahasan undang-undang ini adalah hal yang mutlak. Jangan sampai demokrasi kita mundur akibat kebijakan yang justru menghidupkan kembali otoritarianisme," seru Baijuri.
Ia menegaskan bahwa PMII Jatim siap berkoordinasi dengan elemen sipil lainnya untuk menolak revisi yang dianggap merusak demokrasi ini.
"Kami akan terus bergerak bersama elemen masyarakat sipil lainnya untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kembali ke era militerisme dalam politik," pungkasnya.
Revisi UU TNI yang tengah dibahas DPR dan pemerintah menuai kritik keras dari PMII Jatim. Mereka menilai revisi ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Dengan tiga poin utama yang dianggap bermasalah—perpanjangan masa pensiun perwira, perluasan jabatan sipil bagi perwira aktif, dan intervensi militer dalam politik keamanan—PMII Jatim menegaskan sikap penolakan mereka.
Organisasi mahasiswa ini juga menyoroti ancaman terhadap supremasi hukum akibat kebijakan yang mengatur peradilan militer bagi pelanggaran HAM dan korupsi.
PMII Jatim menyerukan agar pembahasan revisi UU TNI dilakukan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat, demi menjaga demokrasi dan supremasi sipil di Indonesia. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Tolak Revisi UU TNI, PMII Jatim: Jangan Bangkitkan Dwifungsi Militer
Pewarta | : Yusuf Arifai |
Editor | : Ronny Wicaksono |