TIMES NGAWI, JAKARTA – Bayangkan ini: larut malam, deadline esai mendekat, jari-jari kita mengetik pertanyaan ke ChatGPT. Dalam hitungan detik, kerangka jawaban yang rapi tersaji. Praktis? Sangat. Tapi di balik kemudahan itu, penelitian terbaru memperingatkan: otak kita mungkin sedang "berhenti berpikir".
Otak yang "Bermalas-malasan" di Era AI
Dikutip dari BBC, para ilmuwan MIT baru-baru ini memasang elektroda di kepala partisipan untuk mengamati aktivitas otak mereka saat menggunakan kecerdasaan buatan atau AI. Hasilnya mencengangkan: jaringan otak yang bertanggung jawab untuk pemrosesan kognitif menunjukkan aktivitas yang lebih rendah pada mereka yang memanfaatkan ChatGPT untuk menulis, dibandingkan dengan yang mengerjakan secara mandiri.
"Studi ini menunjukkan masalah mendesak untuk mengeksplorasi kemungkinan penurunan keterampilan belajar," tulis para peneliti.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di laboratorium. Survei terhadap 319 pekerja kantoran yang rutin menggunakan AI mengungkap pola serupa: semakin tinggi kepercayaan mereka pada kemampuan AI, semakin rendah upaya berpikir kritis yang dikerahkan.
Laporan itu memperingatkan risiko "ketergantungan jangka panjang dan keterampilan pemecahan masalah mandiri yang berkurang."
Suara Generasi Digital: Antara Bantuan dan Ketergantungan
Di ruang kelas Inggris, suara pelajar justru lebih bernuansa. Survei Oxford University Press (OUP) menemukan fakta menarik:
-
60 persen mengakui AI berdampak negatif pada keterampilan akademik mereka.
-
Namun, 90 persen juga merasa AI membantu mengasah setidaknya satu kemampuan, seperti kreativitas atau teknik revisi.
Pelajaran dari Dunia Medis dan Akademik
Kekhawatiran ini memiliki preseden. Prof. Wayne Holmes dari University College London mengingatkan penelitian tentang "atropi kognitif" pada radiolog. Bantuan AI dalam membaca sinar-X ternyata meningkatkan performa beberapa dokter, tetapi justru mengurangi akurasi lainnya. Alasannya masih menjadi misteri.
Di dunia pendidikan, Prof. Holmes mengkhawatirkan paradoks yang sama: "Output mereka (tugas/esai) lebih baik, tetapi sebenarnya pembelajaran mereka lebih buruk." Esai yang mendapat nilai tinggi berkat AI tidak menjamin pemahaman mendalam sang siswa atas materinya.
Mencari Jalan Tengah: AI sebagai Tutor, Bukan "Joki"
Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap?
OpenAI, sang pembuat ChatGPT, secara tegas menyatakan mereka tidak mendukung siswa "mengalihdayakan" pekerjaan mereka ke AI. Jayna Devani dari tim pendidikan OpenAI menyarankan pendekatan yang lebih cerdas: gunakan AI sebagai tutor virtual.
"Idenya adalah memiliki percakapan timbal balik dengan ChatGPT," katanya, memberikan contoh siswa yang kesulitan memahami sebuah konsep di tengah malam. AI dapat membantu memecah masalah menjadi bagian-bagian yang lebih mudah dicerna, layaknya guru yang sabar.
Kesimpulan: Berpikir Kritis adalah Kunci
Konsensus para ahli jelas: AI adalah alat yang powerful, tetapi bukan pengganti proses belajar. Risiko terbesarnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada cara kita menggunakannya.
Sebagai penutup, peringatan Prof. Holmes layak kita renungkan: "AI bukan sekadar kalkulator generasi terbaru. Ini adalah teknologi dengan implikasi yang sangat luas." Masa depan kecerdasan kita mungkin tergantung pada seberapa kritis kita dalam menggunakan "kecerdasan buatan" ini. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Peneliti: AI Mengikis Keterampiran Berpikir
| Pewarta | : Rochmat Shobirin |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |